(Egip Satria Eka Putra, Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Unand)
Seruan.id- Pengisian posisi kepala daerah untuk pemerintah daerah yang habis masa jabatan sebelum pilkada serentak 2024 mendatang menjadi perbincangan publik. Dilansiir dari Merdeka.com (5/01/2022), diketahui ada 101 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 170 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2023. Hal ini membuat, 271 posisi kepala daerah akan mengalami kekosongan kekuasaan. Sementara pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak baru akan dilaksanakan pada 2024 mendatang.
Salah satu persoalan yang disorot adalah adanya wacana pemerintah untuk menjadikan anggota TNI-Polri untuk menggantikan sementara kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022-2023 mendatang. Jika merujuk pada Undang-Undang Pilkada, kekosongan jabatan itu akan diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Dan wacana untuk menjadikan anggota aktif TNI-Polri untuk menjadi pejabat kepala daerah tersebut menuai polemik ditengah-tengah masyarakat.
Kekhawatiran masyarakat akan ditunjuknya anggota TNI-Polri sebagai pejabat Kepala Daerah bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, dalam perjalanan pilkada, kejadian aparat aktif jadi penjabat kepala daerah bukan kali pertama terjadi.
Pada 2018 misalnya, ada dua jenderal polisi aktif yang ditunjuk sebagai penjabat daerah, yaitu: Komjen (purn) M. Iriawan dan Irjen (purn) Martuani Sormin. Iriawan yang waktu itu masih Asisten Operasi Kapolri menjabat sebagai Plt. Gubernur Jawa Barat, sementara Martuani didapuk sebagai Plt. Gubernur Sumatera Utara.
Bila ditarik lagi ke belakang, ada nama Carlo Brix Teewu yang menjadi Pj. Gubernur Sulawesi Barat pada Desember 2016-Januari 2017. Di tubuh TNI, ada Mayjen Soedarmo yang pernah menjadi Pj. Gubernur Aceh sejak Oktober 2016.
Wacana penunjukan perwira tinggi TNI-Polri menjadi pejabat kepala daerah ini tidak dapat dipisahkan dari aspek regulasi yang ada. Hal ini karena banyak peraturan perundang-undangan yang bersinggungan dan tentu saja tidak boleh bertentangan, baik antara satu sama lainnya maupun dengan UU yang di atasnya.
Menurut analisa penulis penunjukan anggota TNI-Polri aktif menjadi pejabat kepala daerah itu bertentangan dengan undang-undang yang ada. Sebab mekanisme penunjukan pejabat kepala daerah ini sebenarnya sudah diatur secara jelas dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada
Dalam Pasal 201 ayat (10) Undang-undang Pilkada menyebutkan: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Dan pada ayat (11) di pasal yang sama menyebutkan, bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun yang dimaksud jabatan pimpinan tinggi madya terdapat dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN, yaitu meliputi Sekretaris Jenderal Kementerian, Sekretaris Kementerian, Sekretaris Utama, Sekretaris Jenderal Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekretaris Jenderal Lembaga nonStruktural, Direktur Jenderal, Deputi, Inspektur Jenderal, Inspektur Utama, Kepala Badan, Staf Ahli Menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, Sekretaris Daerah Provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Lalu, yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi pratama” terdapat dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN yang meliputi direktur, Kepala Biro, Asisten Deputi, Sekretaris Direktorat Jenderal, Sekretaris Inspektorat Jenderal, Sekretaris Kepala Badan, Kepala Pusat, Inspektur, Kepala Balai Besar, Asisten Sekretariat Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/kota, Kepala Dinas/Kepala Badan Provinsi, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara.
Maka dari itu jelas bahwa anggota TNI-Polri tidak bisa ditunjuk sebagai Pejabat Kepala daerah baik sebagai pejabat Gubernur maupun sebagai pejabat Bupati/Wali Kota karena TNI-Polri tidak termasuk kedalam kategori ASN. Selain bertentangan dengan UU Pilkada, penunjukan anggota TNI-polri aktif menjadi pejabat kepala daerah juga bertentangan dengan UU TNI dan UU Polri. Terutama dalam Pasal 39 dan Pasal 47 ayat (1) UU tentang TNI dan Pasal 28 UU tentang Kepolisian RI. Dimana dalam aturan tersebut personil aktif TNI-Polri dilarang untuk ikut untuk mengikuti semua kegiatan politik praksis dan hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Anggota aktif TNI-Polri dijadikan sebagai pejabat kepala daerah tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, namun menurut penulis kebijakan ini juga memiliki bahaya atau ancaman. Adapun bahaya yang perlu kita waspadai dengan penunjukan anggota TNI-Polri aktif sebagai pejabat kepala daerah adalah akan mengancam marwah demokrasi dan cita-cita reformasi.
Penempatan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah adalah satu bagian dari usaha memundurkan amanat reformasi yang ingin menempatkan TNI/Polri pada jalur profesional. Kondisi ini akan membahayakan bagi profesionalisme TNI/Polri maupun demokrasi secara umum. Serta pelibatan TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah sama dengan mengembalikan konsep orde baru dan menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI.
Bahaya lainnya ketika anggota TNI-Polri aktif ditunjuk sebagai pejabat kepala daerah adalah akan merugikan TNI dan Polri itu sendiri. Profesionalitas dan netralitas mereka akan dipertanyakan oleh masyarakat. Hal yang kita takutkan adalah akan menimbulkan preseden buruk terhadap citra kedua institusi ini di mata masyarakat.
Jika mereka didorong untuk masuk kembali ke dalam politik dengan secara “gratisan” dalam hal ini menjadi pejabat kepala daerah, maka dampaknya pun tidak baik untuk mereka. Sulit bagi publik untuk memandang obyektif peran TNI-Polri. Dan rasa kepercayaan masyarakat kepada kedua instansi ini tentu akan menurun.
Beberapa bahaya dan ancaman yang penulis uraikan diatas tentunya belum seberapa mengingat akan banyaknya kerugian dan bahaya lainnya jikalau anggota aktif TNI-Polri tetap ditunjuk menjadi pejabat kepala daerah. Hal itu jelas tidak hanya menjadi kekhawatiran penulis pribadi saja melainkan menjadi keresahan dan kecemasan kita bersama sebagai warga negara Indonesia. Dan disini penulis tidak bermaksud membenci atau “anti TNI-Polri”. Penulis sama sekali tidak anti TNI-Polri.
Penulis hanya menginginkan agar TNI-Polri tetap ditempatkan pada posisi seharusnya. Penulis berharap TNI-Polri tetap terjaga wibawa dan marwah serta profesionalitasnya. Maka sebuah harga mati dengan menolak dengan tegas ketika anggota TNI-Polri aktif untuk diseret menjadi pejabat kepala daerah, apapun itu alasannya!.