Menyigi Wacana Kebijakan Pemangkasan THL di Pasaman Barat
Oleh: Monsano Andri, Ketua MPPO Himpunan Mahasiswa Gunung Tuleh
Seruan Mahasiswa - Menuju 100 hari Hamsuardi-Risnawanto menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pasaman Barat, kian santer terdengar perihal kebijakan yang akan diberlakukan terhadap Tenaga Harian Lepas (THL) yang dipekerjakan dalam instansi lingkungan pemerintah daerah Pasaman Barat.
Kebijakan yang dimaksud adalah pemangkasan ribuan THL.Meski belum ada angka pasti berapa jumlah pemangkasan itu namun diperkirakan bila mengacu pada pernyataan Kepala BKPSDM Pasaman Barat hampir separuh atau bahkan dua pertiga dari total 3.200 THL yang ada saat ini.
Lantas hal tersebut menjadi pembicaraan yang hangat dan alot ditengah masyarakat. Beragam pendapatpun bermunculan mencoba memasangkan alasan terhadap kebijakan tersebut. Alasan “mainan” politis dan alasan penghematan anggaran adalah dua diantara beberapa alasan yang nyaring terdengar dalam pembicaraan dan jelas tampak dalam tampilan media sosial.
Bukanlah kita hendak memposisikan salah atau benar pihak yang melibatkan diri dalam isu ini, sebab penulis berpandangan tidak ada kebenaran ataupun kesalahan mutlak dalam kebijakan ini.
Bupati dan Wakil Bupati adalah kepala daerah yang sedang berupaya membangun daerah sesuai kewajibannya, THL yang di lingkungan pemda adalah masyarakat Pasaman Barat, tentunya sanak saudara yang kita pedulikan nasibnya demikian pula masyarakat yang turut berkomentar adalah dalam rangka turut mengawal jalannya agenda pemerintahan.
Sehingga tidak ada yang musti dikucilkan sama sekali. Tinggal bagaimana ketiga komponen tersebut mampu menempatkan isu dan tanggapan yang hadir sebagaimana semestinya.
Sejalan dengan itu,tatkala kita mencoba melihat sesuatu maka lihatlah ia dengan kedua belah mata agar lebih luas pandang yang tampak,jangan hendaknya memandang dengan satu mata,bisa jadi malah sempit pandang jadinya.
Kita mencoba memandang kehulu dahulu, perihal alasan mengapa THL diangkatkan dalam jajaran Pemda dan kedudukannya dalam hukum. Bahwa semestinya alasan pengangkatan THL ditujukan untuk membantu para Aparatur Sipil Negara dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Hal tersebut dapat terjadi ketika ASN yang tersedia memang tidak cukup secara jumlah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan seharusnya. Maka diangkatlah THL untuk membantu penyelenggaraan tersebut.
Maka dari itu,sangat tidak tepat apabila kepala daerah dalam periode kapanpun mengangkat atau memberhentikan THL karena alasan politis “balas jasa” atau “cari suara” karena pengangkatan tersebut bukan beralasankan kebutuhan daerah.
Dan sayangnya dalam isu saat ini, seolah mata kita tertuju hanya melihat wacana pemberhentian, namun luput pandang kita dari alasan pengangkatan THL dahulu bagaimana.
Sementara itu perihal kedudukan hukum, THL adalah istilah yang tidak ada ditemukan pengaturannya secara gamblang dalam Undang-Undang. Setidaknya kita bisa menjadikan dua Undang-Undang induk yang muatannya adalah mengenai pekerja.
Pertama,didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sama sekali tidak ditemukan istilah pekerja dalam instansi pemerintahan selain daripada Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kedua, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada pokoknya saja Undang-Undang ini adalah mengatur hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Meski di dalamnya berdasarkan pembagian jenis perjanjian kerja didapati dua bentuk yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Lalu atas urgensi pengaturan PKWT diterbitkan pula KEPNAKERTRANS Nomor 100 Tahun 2004 yang memang memuat istilah THL, namun sekali lagi, bahwa hal tersebut karena merupakan turunan dari UU Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana disebutkan diatas maka sejatinya adalah mengatur perihal hubungan pengusaha sebagai pemberi kerja dengan buruh bukan antara pemerintah dengan masyarakat.
Walau begitu bukan berarti kita menyimpulkan bahwa tindakan pemerintah dalam pengangkatan THL ini adalah tindakan illegal karena tidak memiliki dasar hukum. Sejauh ini saya mengasumsikan bahwa pengangkatan THL di Pasaman Barat berdasarkan pada diskresi Bupati yang dapat dilakukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Meski begitu,THL di Pasaman Barat juga bisa dikatakana tidak memiliki perlindungan hukum yang baik,sudahlah tidak ada UU yang mengatur,pemerintah daerahpun sejauh yang saya telusuri enggan menghadirkan walau sekadar Peraturan Bupati yang memuat mengenai hak, kewajiban,perlindungan dan lain yang dirasa perlu bagi THL sebagai wujud kepastian hukum,sehingga dapat pula itu secara yuridis menjadi tolak ukur kita menilai benar atau salah dalam pengangkatan dan pemberhentian THL.
Selanjutnya,kini menuju hilir isu THL ini, bahwa kebijakan “merumahkan” THL dalam pandangan pemerintah daerah dialasankan sebagai langkah penghematan belanja pegawai sehingga anggaran yang ada bisa diarahkan pada sektor pembangunan yang juga diamini oleh tidak sedikit masyarakat dan bagi sebagian masyarakat lainnya justru menilai hal ini adalah langkah yg tidak atau sedikit dari itu kita gunakan istilah kurang tepat lantaran akan berdampak pada penambahan jumlah pengangguran ditengah pandemic Covid-19. Walau mungkin ada juga pertentangan lainnya,tapi mungkin cukuplah itu saja untuk kita ketengahkan terlebih dahulu.
Ditengah nominal pendapatan dalam APBD Pasaman Barat yang rendah tentu nominal belanja pun juga harus ditata agar APBD seimbang dan efektif. Pada kacamata pemerintah daerah alasan pemangkasan THL adalah untuk pengehematan belanja pegawai. Pada temuan BPK RI yang dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2020 ditemui terjadi over THL di Pasaman Barat.
Jumlah THL tersebut menyerap anggaran daerah hampir 49 Miliar Rupiah pertahunnya. Pemangkasan juga dimaksudkan dalam rangka optimalisasi peran dan fungsi ASN yang ada di lingkungan pemerintah daerah karena memang SDM Pegawai khususnya ASN yang cenderung berlebih ketersediaannya dibanding beban kerja yang ada sehingga langkah ini dianggap adalah salah satu langkah ampuh baik dalam rangka optimalisasi pegawai maupun efektivitas anggaran yang ada guna diarahkan pada sektor pembangunan untuk kepentingan umum.
Jumlah penduduk Pasaman Barat berdasarkan data terkini BPS adalah 431.672 jiwa dan THL yang akan dirumahkan dalam wacananya adalah setengah atau dua pertiga dari jumlah total 3.200 THL. Kita bukan hendak memperhadapkan banyak jumlah masyarakat Pasaman Barat yang dimaknai dari kepentingan umum dengan jumlah THL yang akan diberhentikan yang mungkin sangat timpang sekali.
Tetap saja berapapun jumlah THL tersebut yang dirumahkan,keadilan merupakan hak juga bagi mereka. Dan pemerintah daerah dengan alasan apapun tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Disisi lain kebutuhan Pemda Pasaman Barat terhadap pegawai non ASN agaknya harus ditinjau ulang.
Benarkah tanggung jawab urusan pemerintahan tidak mampu terjalankan dengan jumlah ASN yang ada,apakah ASN yang ada sudah optimal dan professional bekerja pada instansinya. Atau pengadaan THL hanya celah untuk berbagi kue kekuasaan saja dan ASN pun menikmati pembagian kue tersebut dengan menyerahkan pekerjaan pada THL. Pemerintah dan masyarakat harus jernih memandang,sebab kepentingan kita sama untuk kemajuan Pasaman Barat.
Syahdan, pada sebagian masyarakat yang mempertentangkan kebijakan ini dikhawatirkan justru menambah pengangguran dan malah menyasar pada penyengsaraan rakyat. Rakyat yang dimaksud tentu adalah THL yang diberhentikannya beserta siapa saja yang menjadi tanggungannya.
Barang jelas hal tersebut adalah dampak kebijakan ini. Namun kita hendak pula kembali ke awal bahwa dengan status sebagai THL memang memunculkan resiko mudahnya kehilangan pekerjaan tersebut salah satunya adalah bilamana waktu yang diperjanjikan berakhir dan tidak diperbaharui lagi atau ketika beban kerja sudah terpenuhi oleh ASN yang ada.
Dampak kebijakan ini bagi THL yang diberhentikan harus turut menjadi pertimbangan juga bagi pemerintah,agar bisa meminimalisir pengaruh buruk bagi THL.
Disamping itu, jikapun masyarakat yang kontra dengan wacana kebijakan ini menghendaki tidak adanya perumahan THL, namun tetaplah harus dikritisi jumlah THL yang berlebih justru malah menjadi beban yang tidak semestinya bagi daerah, pembiaran atas hal tersebut tentu adalah pengkhianatan pula kepada kepentingan masyarakat banyak, ditengah kebutuhan umum akan pembangunan, tatkala tahun 2020 kemarin usai saja tanpa pembangunan yang berarti lantaran anggaran yang harus direalokasikan untuk penangan Covid 19.
Untuk itu,menengahkan daripada apa yang menjadi pertentangan bahwa bilamana memang harus dilaksanakan kebijakan untuk merumahkan ribuan THL ini, penulis berpandangan pemerintah daerah harus menggunakan pisau ukur yang jelas dan pasti dalam pemberhentian tersebut, tidak sewenang-wenang.
Pendekatan pada kualitas , kompetensi dan kedisiplinan dengan penyesuaian pada analisis jabatan dan analisis beban kerja yang tersedia barangkali adalah yang dapat menjadi jalan tengahnya. Bahwa THL yang dipertahankan adalah sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah bukan demi alasan balas jasa, keadilan disini berpangkal pada kepastian hukum dan objektivitas pemerintah daerah dalam melakukan pemangkasan. Akhir pada tulisan ini,semoga kita mampu bersikap seadil-adilnya bahkan sejak dalam pikiran.