NU, Muhammadiyah, Minangkabau dan Cita-cita Pendiri
Oleh: Muhammad Irsyad Suardi, Mahasiswa Magister Sosiologi UNAND/IMM Kota Padang
Seruan Mahasiswa - Di usia yang genap 95 tahun, Nahdlatul Ulama (NU) tetap eksis menjaga keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa. NU bukan saja aktif secara ormas, tetapi eksis juga dalam berbagai sendi kehidupan ditengah masyarakat.
Terbukti, sekarang, yang memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) berasal dari NU, Kiai Miftachul Akhyar. Bahkan, di Pulau Jawa hampir 90 persen menjadikan NU sebagai pandangan dalam berpendapat.
Tentu, sebagai ormas terbesar sudah khatam menjadi bagian besar dalam struktur benteng pertahanan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menjalankan amanat cita-cita pendiri NU, Kiai Hasyim Asy`ari.
Dibalik itu semua, pendiri NU, Kiai Hasyim Asy`ari pernah berguru kepada Ulama Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi sewaktu menimba ilmu di Makkah pada tahun 1892.
Sebagai murid, Hasyim Asy`ari tentu tidak melupakan guru yang telah mengajarkannya banyak ilmu. Terbukti, Kiai Hasyim Asy`ari sewaktu pulang ke tanah air dan mengajarkan murid-murid barunya di Indonesia, juga, memakai mazhab gurunya, yaitu yang bermazhab Imam Syafi`i.
Karena, diwaktu itu, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi merupakan pembesar Mazhab Syafi`I di Makkah Al-Mukarramah.
Jadi, tidak heran, bahwa dari dulu, NU kebanyakan mengambil mazhab Syafi`i karena belajar kepada Ulama asal Minangkabau. Untuk itu, bagian penting dalam menghormati guru, menjadikan cita-cita guru tetap hidup di sanubari para murid-muridnya hingga sekarang.
Walaupun NU di Sumatera Barat tidak sebanyak di Pulau Jawa. Setidaknya, salah satu tanda khidmat seorang murid kepada guru ialah menjaga amanah ilmiah dan wasiat guru.
Muhammadiyah (NU)
Sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah sudah khatam dengan berbagai masalah. Baik pendidikan, sosial, keagamaan, budaya, politik maupun ekonomi.
Kontribusi nyata Muhammadiyah telah menjadi garda terdepan dalam merumuskan dasar-dasar, ruang-ruang, sendi-sendi dan fondasi-fondasi dasar masyarakat Indonesia. Apalagi di Sumatera Barat yang notabene mayoritas menganut pandangan Muhammadiyah.
Baik itu gerakan di dalam sholat, seperti: tidak qunut, men-sir kan bismillah, tidak melafazhkan niat, tidak zikir berjamaah setelah sholat dan sebagainya. Itu semua merupakan didikan dari Kiai Haji Ahmad Dahlan yang notabene berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi selama menuntut Ilmu di Makkah Al-Mukarramah.
Tidak terlepas dari peran Minangkabau bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan cikal-bakal sedikit-banyaknya pengaruh Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Keberhasilan Guru dalam mendidik murid merupakan kebahagiaan terbesar seorang guru. Begitupun hubungan Kiai Ahmad Dahlan dengan gurunya Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan hasil didikan Syaikh Ahmad Khatib selama di Makkah. Sejarah telah membuktikan, apalagi gurunya berhasil mendidik muridnya, maka, muridnya akan lebih pintar dari gurunya.
Secara tidak langsung, lahirnya organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah yang berbasis agama tidak terlepas dari peran sentral orang Minangkabau itu sendiri.
Corak keagamaan yang masih dipegang teguh oleh mereka yang memegang prinsip Muhammadiyah itu sendiri masih membekas terasa hingga hari ini. Contohnya sendiri bisa dilihat ketika Bapak/Ibu sholat berjamaah di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Pasar Raya, Kota Padang. Kental sekali terasa.
Inilah cita-cita pendiri Muhammadiyah yang masih membekas pada generasi ormas Muhammadiyah sekarang, khususnya di Sumatera Barat.
Namun, sebagai generasi milenial Muhammadiyah, jika terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah, baik kekeliruan dalam berucap maupun tindakan. Maka, mesti dikembalikan lagi kepada titah Muhammadiyah itu sendiri. Artinya, mesti rujuk kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah yang Shahih.
Sebab, seorang manusia, baik itu ulama, penuntut ilmu, generasi Muhammadiyah dan masyarakat umum tidak akan pernah terlepas dari kesalahan, kekhilafan dan kealpaan dalam menjalani hidup dikehidupan sehari-hari.
Yang hanya ma`shum yakni terpelihara dari dosa ialah hanya Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Baik dosa besar maupun dosa kecil, karena Allah Azza Wa Jalla langsung yang menjamin beliau terpelihara dari dosa. Karena beliau merupakan Hamba dan Utusan-Nya.
Khittah Muhammadiyah (Cita-cita Pendiri)
Dijelaskan dalam laman web kemuhammadiyahan.com bahwa Khittah Perjuangan Muhammadiyah merupakan dokumen resmi yang berisi garis-garis besar sejak berdirinya Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 12 November 1912. Menetapkan 6 khittah yang dirumuskan berdasarkan tantangan dan kebutuhan persyarikatan dalam dinamika dan kurun waktu tertentu.
Singkatnya, khittah merupakan panduan atau pedoman setiap warga Muhammadiyah yang berlandaskan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Atau intisari dari cita-cita pendiri Muhammadiyah.
Dalam perkembangan Muhammadiyah yang setiap tahun terus mengalami perubahan baik kuantitas maupun kualitas, dalam hal ini infastruktur, seperti; Rumah Sakit, Perguruan Tinggi, Sekolah, Panti Asuhan dan sebagainya.
Sedangkan, dalam hal kuantitas, berupa bertambahnya warga Muhammadiyah dari masa ke masa karena dakwah Muhammadiyah yang merangkul dan berdasarkan Qur`an dan Sunnah. Dibalik itu, memasuki era orde lama, situasi politik yang sangat dinamis dan cenderung memanas, menyebabkan adanya tarik-menarik sebagian warga Muhammadiyah dalam ranah politik praktis.
Sehingga, dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagiannya, warga Muhammadiyah mulai mencari, mulai berambisi, mulai tergoda untuk masuk kedalam lingkaran politik praktis. Karena, adanya sokongan dari pemerintah, baik sokongan dana maupun sokongan sumber daya manusia.
Melihat kondisi tersebut, akhirnya Pimpinan Pusat Muhammadiyah berinisiatif dan berusaha bagaimana supaya warga Muhammadiyah tidak terseret dalam politik praktis. Dari itu, dituangkanlah putusan Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun 1969 atau yang disebut Khittah Ponorogo yang isinya memuat batasan-batasan warga Muhammadiyah dan partai politik.
Dari situ, sebagian warga Muhammadiyah ada yang condong untuk masuk dan tergiur dalam politik praktis. Sehingga, Khittah Ponorogo tadi, terus diperbarui dari masa ke masa hingga mencapai 6 khittah yang mana terus mengalami perubahan dan penyesuaian kondisi setiap zaman yang terjadi.
Maka, jika ada warga Muhammadiyah yang masuk ke partai tertentu, adalah godaan yang tidak bisa dihindari karena adanya kepentingan dan kebutuhan yang dirasa penting oleh sebagian warga Muhammadiyah yang ikut.
Ini terjadi karena memang situasi politik nasional yang rentan tarik-menarik Muhammadiyah terseret dalam kancah politik praktis partai. Namun, dalam khittah nan 6 tadi, rambu-rambu setiap warga Muhammadiyah telah diwanti-wanti agar tidak keluar terlalu jauh dari garis-garis ke-Muhammadiyah-an.
Oleh karena itu, sekarang khususnya, banyak kita jumpai dan temui warga Muhammadiyah yang tergabung dalam politik praktis dan menjadi anggota dewan baik pusat maupun daerah. Namun, itu semua merupakan dinamika internal yang masih diperdebatkan dalam khittah (pedoman) Muhammadiyah.
Sehingga agak melenceng dari cita-cita pendiri Muhammadiyah sebagaimana yang disampaikan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Bahwa pada dasarnya, Organisasi Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang mencetak, dai, ustadz dan pendakwah dari sabang hingga ke merauke. Sehingga perlu direnungi lagi oleh setiap warga Muhammadiyah.
Begitu pula dengan NU, agar kembali kepada cita-cita pendiri, agar sebagai umat kita tidak keluar dari jalur yang telah dicita-citakan pada pendiri NU dan Muhammadiyah. Semoga.