Kesetaraan Gender, Feminisme, dan Agama
Oleh: Muhammad Irsyad Suardi, Mahasiswa Magister Sosiologi UNAND
Seruan Mahasiswa - Isu kesetaraan gender menjadi bahasan di setiap lintas sektor, baik sektor formal maupun sektor informal. Kesetaraan gender menempatkan posisi laki-laki dan perempuan setara menjalin hubungan dalam rumah tangga.
Tidak sedikit kasus kekerasan rumah tangga yang sering dialami perempuan. Berawal dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) muncullah gerakan “kesetaraan gender” yang terus mengalami eskalasi massa dari tahun ke tahun.
Kesetaraan gender menempatkan posisi perempuan dalam berbagai urusan dalam dan luar rumah sebagai satu keseimbangan yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam status dan peran yang sama.
Jika ditelisik lebih jauh, isu kesetaraan gender pertama kali dideklarasikan pada tahun 1910, organisasi sosialis internasional berkumpul di Kopenhagen untuk menetapkan Hari Perempuan. Usul ini disepakati oleh 100 perempuan dari 17 negara. Namun belum ditetapkan soal tanggal berapa hari tersebut diperingati.
Tahun berikutnya, Hari Perempuan Internasional ditandai pada 19 Maret dan diperingati di Austria, Jerman, Swis, dan Denmark. Lebih dari 1 juta perempuan dan laki-laki ikut terlibat. Pada kurun waktu 1913-1914, Hari Perempuan Internasional dipakai sebagai gerakan penolakan Perang Dunia I.
Di sejumlah negara Eropa, Hari Perempuan Internasional dipakai untuk memprotes perang dunia atau sebagai aksi solidaritas sesama kaum yang merasa tertindas.
Di tahun 2020 lalu Hari Perempuan Sedunia mengangkat isu #EachforEqual. Dalam situs resmi International Women's Day mengungkapkan alasan mengapa #EachforEqual menjadi isu yang kembali dibahas tahun 2020.
Dalam situs tersebut dijelaskan "Dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan untuk melakukan apapun. Kesetaraan bukan hanya isu wanita tapi juga isu bisnis. Kesetaraan gender sangat penting untuk perkembangan ekonomi dan masyarakat. Dunia yang setara secara gender bisa jadi lebih sehat, kaya dan harmonis."
Hari Perempuan Sedunia merupakan hari dimana dirayakannya pencapaian wanita dalam berbagai bidang dari mulai sosial, ekonomi, budaya hingga politik.
Sosiologis
Marx, Weber, dan Comte memiliki visi yang sama tentang ruang-ruang publik bagi perempuan, seharusnya perempuan ditempatkan pada semua posisi yang sama dengan laki-laki. Tidak boleh ada diskrimasi dalam pembagian kerja dan peran.
Semua harus satu, semua harus setara, semua harus sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Maka munculnya kritik feminisme terhadap keluarga oleh Marx, Weber, dan Comte dalam melihat pola-reasi kuasa dalam rumah tangga.
Ditinjau dari sisi sosial-budaya, ada istilah yang yang dimunculkan oleh para pengkritik teori feminisme di dalam memandang keluarga ideal. Yaitunya istilah “androgini” menjelaskan bahwa maskulinistas dengan feminitas bisa digandengkan dalam semua sisi.
Maksudnya perempuan bisa saja sewaktu-waktu jadi maskulin dan laki-laki sewaktu-waktu bisa saja jadi feminim. Adanya ruang-ruang tertentu yang merubah posisi dan peran laki-laki dan perempuan.
Seperti kejadian seorang kakek tua berdiri di kereta api dengan sekelompok remaja perempuan yang asyik duduk. Bisa saja seorang remaja perempuan menaruh simpatinya untuk memberikan kursinya kepada kakek tua tersebut sehingga mengubah pandang bahwa perempuan feminism bisa menjadi maskulin pada kondisi tersebut.
Disamping itu, pandangan lain dari sudut pandang teori sosiologi feminis membagi tiga model teori feminisme. Pertama. Feminisme liberal, kedua, feminisme radikal dan terakhir, feminisme sosialis. Feminisme liberal memandang keluarga sebagai bentuk ketidakadilan dalam pembagian kerja berdasarkan seks.
Posisi perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan pengasuhan anak, kerja rumahan dan kerja yang melibatkan emosi. Padahal laki-laki dapat memikul beban lebih banyak dalam merawat anak-anak dan kerja domestik.
Sedangkan, pada feminisme radikal mengatakan bahwa perkawinan merupakan lembaga formalisasi untuk menindas perempuan.
Institusi keluarga menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah terjadi karena masih kuatnya hegemoni unsure dominasi dan hegemoni dalam budaya patriarki yang menindas kaum perempuan. Kaum perempuan menjadi “korban” abadi dalam system kehidupan masyarakat yang mengalami ketimpangan structural.
Institusi keluarga sebagai musuh pertama yang harus dihilangkan atau diperkecil perannya. Peran wanita sebagai ibu rumah tangga adalah peran yang “merampok hidup perempuan”, perbudakan perempuan, dan sebagainya.
Namun, berbeda lagi dengan feminisme sosialis yang menekankan aspek gender dan ekonomis dalam penindasan atau kaum perempuan. Perempuan dapat dilihat sebagai penghuni kelas ekonomi dalam pandangan Marx dan “kelas seks” sebagaimana disebut dalam Shulamith Firestone.
Pandangan ini mengatakan bahwa perempuan tidak dapat meraih keadilan sosial tanpa membubarkan patriarki dan kapitalisme. Marxisme dan feminisme harus bersatu agar dapat memperjuangkan kondisi perempuan agar terbebas dari penindasan kepada perempuan. Perempuan lebih banyak mengasuh anak dan mengerjakan rumah, perempuan juga dihubungkan dengan kerja upahan yang lebih rendah.
Maka, kalau merujuk pada pandangan tokoh-tokoh di Sumatera Barat. sebenarnya telah ada dari tahun 1900-an tokoh Minang yang memperjuangkan kesetaraan gender namun bahasa yang digunakan lebih kepada “kemuliaan wanita” atau “keadilan bagi wanita” yang digagas oleh Rohana Kuddus.
Perempuan Minang yang konsen mengkaji dan menelaah kesetaraan gender di Minangkabau, dalam majalah Suntiang Melayu yang digagas.
Rohanas Kuddus disitu mencurahkan seluruh pemikiran tentang kesetaraan gender. Karena ketika itu di Minang sering terjadi kekerasan antara mamak-kamanakan, suami-istri, ayah-anak dan seterusnya. Rohana Kuddus menggugat praktek-praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada keluarga di Minangkabau ketika itu.
Namun, jika dikaitkan dengan fenomena yang sering terjadi belakangan di Indonesia apalagi mayoritas Indonesia beragama Islam, maka jika terjadi KDRT salah satu solusi umum biasanya “bercerai”.
Sedangkan Allah Ta`ala dalam Qur`an menyebutkan bahwa perceraian itu diperbolehkan tapi sesuatu yang dimurkai Allah Ta`ala. Maka, Islam memberikan solusi terbaik kepada Hamba-Nya agar sebelum melamar anak gadis terlebih dulu seorang laki-laki harus memahami dulu sebuk-beluk ilmu tentang pernikahan.
Karena ilmu tentang pernikahan tidak hanya khatam menjelang pernikahan saja tapi ilmu tentang pernikahan dimulai ketika seseorang telah menjalankan rumah tangga hingga dia wafat.
Oleh karena itu, sebelum mendengungkan tentang kesetaraan gender, seharusnya pahami dulu peran suami dan istri dalam rumah tangga karena kebanyakan kasus kekerasan yang terjadi antara suami-istri tidak mengetahui hak dan kewajiban dalam membangun rumah tangga yang sakinah wa rahmah.
Intinya, seorang yang beragama islam tidak usah bahkan tidak perlu mengambil teori feminisme barat yang hampir semua kaitannya dengan feminisme kebanyakan mengenyampingkan agama sebagai faktor utama dalam membangun rumah tangga yang sehat dan sejahtera. Cukupkan saja diri dengan Al-Qur`an dan Hadits Shahih. Semoga bermanfaat.