Seruan.id- "Saya tidak berpegang teguh pada kekuasaan. Saya tidak ingin turun dalam sejarah Kyrgyzstan sebagai presiden yang mengizinkan pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyatnya...."
Presiden Kyrgyzstan Sooronbay Jeenbekov mengundurkan diri dari jabatannya pada Kamis (15/10/2020). Dia mengatakan dirinya ingin mengakhiri krisis yang dipicu oleh pemilihan parlemen awal bulan ini.
Dilansir AFP, Kamis (15/10) aksi-aksi protes meletus setelah pemilu pada 4 Oktober dimenangkan oleh partai-partai yang setia kepada Jeenbekov, tetapi para penentangnya mengatakan bahwa mereka kalah akibat pembelian suara. Hasilnya kemudian dibatalkan tetapi ini tidak meredakan ketegangan.
"Saya tidak berpegang teguh pada kekuasaan. Saya tidak ingin turun dalam sejarah Kyrgyzstan sebagai presiden yang mengizinkan pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyatnya. Saya telah mengambil keputusan untuk mundur," kata Jeenbekov dalam pernyataan yang dirilis oleh kantornya.
Lebih dari 1.200 orang terluka dan satu orang tewas dalam bentrokan setelah pemilihan umum antara pengunjuk rasa dan polisi.
Pengunduran diri ini dilakukan ketika para pendukung Perdana Menteri Sadyr Japarov - yang menjalani hukuman penjara karena penyanderaan - kembali berkumpul pada Kamis (15/10) untuk menuntut pengunduran diri segera Jeenbekov.
"Situasi saat ini dekat dengan konflik dua sisi. Di satu sisi, pengunjuk rasa, di sisi lain, lembaga penegak hukum," kata Jeenbekov dalam pernyataannya.
"Aparat militer dan aparat penegak hukum wajib menggunakan senjata untuk melindungi kediaman kepala negara. Dalam hal ini akan terjadi pertumpahan darah. Tidak bisa dihindari. Saya mengimbau kedua belah pihak untuk tidak mengalah pada provokasi," imbuhnya.
Untuk diketahui, Jeenbekov sebelumnya berjanji untuk mengundurkan diri setelah pemilihan parlemen baru di negara itu. Tapi Japarov dan pendukungnya mendesak pengunduran diri segera.
Kirgistan telah dirundung oleh volatilitas politik selama tiga dekade kemerdekaannya.
Sebuah republik berpenduduk 6,5 juta orang tersebut, kini telah menyaksikan tiga presiden digulingkan dalam kerusuhan sejak memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet.