Seruan.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dengan
resmi disahkan menjadi undang-undang pada Sidang Paripurna oleh Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin yang
berlangsung pada Senin, (05/10/2020).
“Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam
forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?” tanya Azis Syamsudin pada saat
memimpin sidang paripurna, yang ditayangkan pada chanel Youtube DPR RI.
“Setuju!” seru mayoritas anggot yang hadir dalam sidang
paripurna tersebut.
Tak berselang waktu, Azis kemudian mengetok palu tanda
persetujuan pengesahan undang-undang tersebut.
Sebelumnya, diketahui bahwa pembahasan omnibus law RUU Cipta
Kerja telah diselesaikan oleh DPR dan pemerintah pada Sabtu malam,
(03/10/1010).
Dalam rapat kerja yang dilangsungkan pada Sabtu malam, diketahui
hanya dua dari sembilan fraksi yang menolak pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut,
yaki PKS dan Partai Demokrat.
Dalam kesempatannya, kedua fraksi tersebut menolak RUU Cipta
Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang.
Menurut Anggota Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan
menilai RUU Cipta Kerja tidak memiliki nilai kegentingan di tengah dampak
pandemi Covid-19.
Ia menganggap bahwa RUU Cipta Kerja berpotensi memberangus
hak-hak pekerja dan pembahasannya sejak awal cacat prosedur.
“Fraksi Demokrat menyatakan menolak pembahasan RUU Cipta
Kerja ini. Fraksi Demokrat menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara
lebih mendalam dan komperehensif, tidak perlu terburu-buru,” terang Hinca.
Tidak berbeda jauh dari pendapat Hinca, Anggota Fraksi PKS,
Ledia Hanifa juga turut menyampaikan penolakannya terhadap RUU Cipta Kerja.
Ia menilai bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja tidak sensitif
dengan situasi yang saat ini tengah gempar.
Selain itu, pelibatan publik dalam pembahasan RUU Cipta
Kerja juga dikatakan sangat minim.
“RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi,” ujar Ledia.
Disamping itu, DPR dalam laporannya yang dibacakan oleh
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya menegaskan bahwa RUU tentang Cipta Kerja
ini merupakan RUU yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo.
RUU Cipta Kerja tersebut masuk dalam RUU Prioritas Tahun
2020 dalam program Legilasi Nasional Tahun 2020-2024.
Hal tersebut juga merupakan penugasan Pimpinan DPR RI,
dimana RUU Cipta Kerja dibahas oleh Badan Legislasi DPR RI.
“Selanjutnya Baleg membahas RUU tersebut dengan membentuk
Panja. Sejak tanggal 14 April 2020, Panja telah membahas RUU tentang Cipta
Kerja dengan pemerintah,” terang Willy pada Minggu, (04/10/2020).
“Pembahasan diawali dengan mengundang berbagai narasumber
terkait dan membahas pasal demi pasal secara detail, intesif dan dengan
mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat,” tambahnya.
Poin-Poin RUU Cipta Kerja yang Disorot Buruh
Upah didasarkan per satuan waktu. Ketentuan ini membuka
ruang adanya upah per jam. Ketika upah dibayarkan per jam, maka otomatis upah
minimum akan hilang.
Upah minimum hanya didasarkan pada UMP, Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus.
Sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah
upah minimum dihilangkan.
Tidak denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah.
Pekerja yang di PHK karena mendapatkan Surat Peringatan Ketiga
tidak lagi mendapatkan pesangon.
Pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapatkan apa-apa.
Pekerja yang di PHK karena terjadi perubahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan tidak lagi
mendapatkan pesangon.
Pekerja yang di PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau keadaan
memaksa (forje majour), tidak lagi mendapat pesangon.
Pekerja yang di PHK karena perusahaan pailit tidak lagi mendapatkan
pesangon.
Pekerja yang meninggal dunia, kepada ahli warisnya tidak
lagi diberikan sejumlah uang sebagai pesangon.
Pekerja yang di PHK karena memasuki usia pensiun tidak lagi
mendapatkan pesangon.
Pekerja yang di PHK karena mengalami sakit berkepanjangan,
mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ketika di PHK tidak lagi mendapatkan
pesangon.
Membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan.
Outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan
tidak ada batas waktu.
Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia hilang. Dengan
demikian TKA tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia.