Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas
Berada di bawah sistem Kapitalisme, meniscayakan sifat tamak dan rakus menyebar begitu cepat. Hak dasar kebebasan yang menjadi ciri kapitalisme membuat individu bebas untuk menguasai apa yang menjadi keinginannya. Sekalipun harus mengorbankan hajat hidup orang banyak. Kebebasan yang dijamin ini membuat sebagian para kapitalis berpesta pora untuk mendapatkan keuntungan hidup sebanyak-banyaknya.Tentu melalui lobi lobi dengan para segelintir pemerintah yang memegang otoritas untuk melegalisasi hukum.
Ralph Nader, tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress? Buku itu menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi kongres. Sehingga meskipun Demokrasi secara teori menjamin kedaulatan berada di tangan rakyat, alias suara mayoritas, namun praktiknya jauh dari kenyataan. Faktanya segelintir parlemen justru dikuasai oleh pemilik modal alias kapitalis.
Mengapa demikian? Hal ini tak dapat dihindari, mengingat para kapitalis sejak awal mengantar para penguasa untuk duduk di kursi kekuasaan dengan sokongan dana besar-besaran. Sebab untuk memenangkan jabatan, uang sangat dibutuhkan. Akhirnya, balas budi penguasa pada kapitalis kelak dapat berbentuk hukum yang pro pada kepentingan mereka, sekalipun produk hukum itu justru menekan rakyatnya sendiri yang mayoritas.
Artinya, dari oleh dan untuk rakyat pun tak terealisasikan dan hanya menjadi teori belaka. Buktinya, produk hukum yang pro kapitalis sudah sangat banyak, dan saat ini yang menjadi pusat perhatian adalah UU Omnibus Law. Meski statement dari pemerintah tentang alasan disahkannya UU ini adalah untuk kemudahan investasi dan memulihkan ekonomi, sayangnya bila diperbesar lagi, semua kemudahan itu justru berpihak pada para kapitalis.
Pertama, UU Omnibus Law justru mengeksploitasi dan merugikan buruh karena menghapuskan upah minimum. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi upah buruh di Negeri kita memprihatinkan. Sementara kapitalis bisa untung, sebab dapat menghemat biaya produksinya dengan memberi upah yang sedikit untuk para buruh.
Kedua, UU Omnibus Law juga bisa berdampak pada lingkungan, sebab pasal yang menjadi senjata pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang melakukan pelanggaran lingkungan malah dihapus. Tentu penyederhanaan regulasi ini menjadi karpet merah para pemodal. Konversi lahan juga akan kian terbuka. Padahal sejak dulu problem pertanian sudah bermasalah dengan adanya impor pangan yang menggila, lalu malah ditambah dengan UU ini, yang justru akan malah mempermudah pemodal atau investor asing mendirikan usaha.
Ketiga, UU Omnibus Law yang katanya akan mempermudah rakyat memperluas usaha dan pemanfaatan lahan, hanya menyisakan cerita. Pasalnya, yang menguasai lahan adalah Korporasi. 2017 saja, Komite Nasional Pembaruan Agraria menyatakan bahwa dari seluruh wilayah daratan Indonesia, 71% dikuasai oleh korporasi hutan. 16% korporasi perkebunan skala besar, 7% para konglomerat, rakyat sisanya (mongabay.co.id). Maka, Kemaslahatan rakyat mana yang dimaksud akan dipermudah perluasan usahanya? Dan mungkin masih banyak lagi pasal pasal bermasalah yang tak pro pada rakyatnya.
The powergame (1986) karya Hedrick Smith sendiri menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika, si kampiun demokrasi itu adalah: 1. Uang, 2. Duit, 3. Fulus. Artinya, para pemilik modal alias kapitalis memang akan memainkan peran penting dalam kekuasaan, selama sistem yang dipertahankan adalah sistem yang membebaskannya melakukan praktik demikian.
Demokrasi dengan asas kebebasannya telah meniscayakan manusia melakukan apapun sebagai bentuk ekspresi dari hak asasinya. Sekalipun hal itu mengancam kesejahteraan masyarakat lain. Parahnya, Negara berperan menjadi fasilitatornya. Negara memfasilitasi individu untuk menguasai apa yang bisa dikuasai meski berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, wajarlah bila ketimpangan di mana-mana.
Menata Ulang Sistem
Asas dari Kapitalisme adalah Sekulerisme, yang mengabsenkan aturan agama dalam mengurusi urusan dunia. Alhasil, karena manusia memandang dirinya berhak dan paling tahu tentang urusan hidupnya, maka segala keputusan bercampur dengan nafsu dan egonya masing-masing. Hukum buatan manusia ini tak adil sebab manusia itu sendiri dipenuhi berbagai kepentingan.
Itulah mengapa sistem yang rusak sejak dasarnya, mesti ditata ulang dengan sistem sempurna yang mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dari segala sisi. Islam mencontohkan dengan gagahnya aturan-aturan hidup yang mampu menyejahterakan manusia, contoh kecilnya saja persoalan upah yang berkaitan dengan UU Omnibus Law tadi. Islam melarang keras praktik kedzhaliman yang dialamatkan pada pekerja. “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dia kerjakan.” Imam Al Baihaqi.
Rasulullah Saw menyampaikan tentang pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka para budak dan pelayanmu adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberi makan seperti apa yang dimakannya sendiri dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya sendiri, dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat dan jika kamu membebankannya pada tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka mengerjakannya (HR. Muslim).
Bukan hanya itu, Islam memiliki sistem ekonomi yang mengharamkan praktik riba dan transaksi melanggar syariat, menghapuskan pungutan pajak, karena itu hanya untuk situasi extraordinary dan hanya ditujukan pada kalangan mampu dari orang kaya (aghniya).
Islam pun melarang Individu melakukan privatisasi dan menguasai kepemilikan umum yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup orang banyak sehingga kekayaan tak bertumpu pada satu pihak.
Demikianlah sedikit gambaran dari kesempurnaan dan detailnya aturan Islam dalam menjelaskan perkara yang dihadapi manusia sehari-hari. Terbukti selama Islam memimpin dunia dengan aturan ini, keberkahan turun menaungi masyarakat.
Sudah saatnya kita berbenah sejak dari dasarnya, mengingat kerusakan ini juga muncul secara tersistematik dan destruktif. Demokrasi, sistem yang selama ini diagung-agungkan karena dipercaya mampu memberi kedaulatan pada rakyat dan suara mayoritas nyatanya tersandera oleh kepentingan, jauh dari teori. Jargonnya berubah haluan menjadi dari oleh dan untuk kapitalis, sebab faktanya memang selalu demikian. Sampai kapan hendak bertahan.