Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas
Pelaksanaan Pilkada serentak yang akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020 menimbulkan polemik di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi di bumi pertiwi (Indonesia).
Indonesia sendiri masih belum bisa menghadang dahsyatnya wabah mematikan yang berasal dari negara tirai bambu (China), karena semakin hari kian banyak korban yang terinfeksi virus corona. Jumlah korban jiwa akibat SARS-CoV-2 tersebut juga terus meningkat.
Bahkan pejabat dan para menteri sekali pun juga terjangkit virus yang menyerang saluran pernafasan itu, termasuk anggota komisi pemilihan umum (KPU) yang terinfeksi.
Jika melihat secara masif dan komprehensif, akibat dari pandemi ini ternyata berdampak keberbagai lini sektor, salah satunya ialah sektor ketatanegaraan. Kebijakan penundaan agenda ketatanegaraan mulai dilakukan dan menjadi pertimbangan. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan adalah ketika pandemic datang pada saat tahun politik yakni agenda pemilihan kepala daerah.
Mengadakan pilkada di masa pandemi bukanlah hal yang mudah agar sejalan dengan standard demokrasi. Proses-proses pemilu normal dengan mengumpulkan banyak orang membuka peluang penyebaran virus. Efek lain adalah potensi berkurangnya partisipasi karena tingkat kekhawatiran yang tinggi terhadap penyebaran virus (Clark, 2020: 12).
Di samping itu, potensi terjadi malpraktik pemilu, yang bahkan sering terjadi di masa normal, semakin berpeluang pada masa pandemic jika keterbatasan dihadapi oleh pihak pengawas yang dibarengi oleh tidak optimalnya keterlibatan public yang kritis. Penanganan Covid-19 masih problematic, maka lebih baik Pilkada serentak 2020 ditunda.
Natur dari pemilu, termasuk pilkada, ialah kontestasi untuk mendapatkan legitimasi (kekuasaan). Oleh karena itu, kata Machiavelli, segala cara pun akan dihalalkan, termasuk politisasi musibah covid-19 untuk pencitraan politik.
Menurut Mendagri Tito Karnavian dan Ketua Komisi II DPR-RI Ahmad Dolly Kurnia Tanjung, di samping proses penanggulangan wabah Covid-19, proses demokrasi harus tetap berjalan dengan segala konsekuensi karena ketidakpastian pandemi tidak dapat dihadapi secara pesimis (Koran Tempo,5 Juni 2020).
Oleh karena itu, banyak terjadi pro-kontra terhadap pilkada serentak 2020 di tengah pandemic. Pembuat kebijakan harus menyikapi dengan prakondisi yang tepat, sebaiknya Pesta demokrasi untuk memperebutkan legitimasi (kekuasaan) ini ditunda dulu sampai pandemic ini berakhir, seharusnya mereka memikirkan resiko-resiko apabila ‘’ritual demokrasi’’ ini tetap dilanjutkan akan menjadi malapetaka besar bagi negara kita (Indonesia).
Namun, di negara lain yang tetap menggelar pemilihan masa pandemic covid-19, misalnya Singapore terjadi penurunan angka partisipasi pemilih yang cukup signifikan.
Bukan hanya tentang itu, misalnya pemilu itu membutuhkan penambahan dan realokasi anggaran yang besar, sebagai bagian paling esensial dalam merealisasi fasilitas keamanan. Fasilitas yang lengkap dan disosialisasikan dengan efektif akan memicu tingkat kepercayaan pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS), sedangkan Indonesia tak cukup uang dalam anggaran untuk berperang melawan wabah.
Pemerintah merencanakan anggaran baru senilai Rp 405,1 triliun untuk mengawasi virus tersebut. Selain menggeser dana dari pos anggaran lain, pemerintah mau tak mau mesti mencari utang baru untuk menutup tambahan kebutuhan itu. Defisit anggaran akan meledak luar biasa, mencapai Rp 853 triliun tahun ini, hampir tiga kali lipat rencana sebelumnya Rp 307,2 triliun.
Dalam hal meminjam, Indonesia bahkan sudah mengklaim satu title: negara pertama yang menerbitkan obligasi pandemi dalam dollar Amerika Serikat. Indonesia berhasil menjual tiga obligasi meskipun keadaan sedang gonjang-ganjing. Tak tanggung-tanggung, pemerintah mencetak utang baru sebesar US$ 4,3 miliar, yang salah satu serinya berjangka waktu 50 tahun. Inilah pertama kalinya Indonesia menjual obligasi dollar bertenor setengah abad. Masalah tahun ini akan menjadi beban generasi cucu dan cicit kita untuk melunasinya.
Apabila pilkada ini tetap bersikeras dilaksanakan akan menambah masalah Indonesia dan menyebabkan negara ketergantungan utang ke negara lain.
Indikator penting dari eksisnya legitimasi otoritas negara adalah, adanya dukungan dan kepatuhan warga negara terhadap berbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah. Dengan demikian, cukup beralasan jika dukungan dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah covid-19 juga dapat diartikulasi sebagai bagian dari ujian nyata terhadap eksistensi otoritas negara.
James Scoot mengemukakan tentang teori patron-client, yaitu hubungan antara seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh dengan client yang berarti bawahan atau orang yang diperintah dan disuruh.
Indonesia hanya menginginkan keinginannya saja terhadap pilkada, bukan tentang kebutuhan rakyatnya yang mayoritas terkena dampak wabah ini.
Dalam kajian negara hukum, negara harus mampu merespon keadaan yang dimanifestasikan dalam wujud peraturan perundang-undangan sebagai jaminan konstitusionalitas penundaan pilkada 2020. Secara original intens, peraturan tersebut harus mampu bertindak untuk melindungi rakyat dan menjamin kesejahteraan (Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945). Sesuai dengan adagium yang digaungkan oleh Marcus Tullius Cicero dalam karyanya yaitu “Salus populi suprema lex esto”. (Soekanto, 2002).
Perpu Pilkada sejatinya dapat digunakan sebagai legalitas terhadap penundaan pelaksanaan pilkada 2020. Dalam muatan materi setidaknya harus mencakup beberapa hal meliputi status tahapan pasca penundaan, skema pengisian jabatan kepala daerah bagi daerah yang mengalami kekosongan kepala daerah sebelum terlaksananya pilkada. Maka apabila negara sudah tepat secara responsif menanggapi penundaan pilkada melalui peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan segala pertimbangan hukum dan berbagai bidang kajian lainnya. Maka hukum telah dapat berjalan sebagaimana fungsi yang menurut Mochtar Kusuma Adtmaja bahwa “hukum harus bisa dijadikan sarana untuk memecahkan problematika dalam penyelenggaraan Negara” (Kusumaatmadja, 2002).
Penundaan dalam perspektif Undang-Undang tertuang dalam perppu ini telah disahkan DPR menjadi UU Nomor 6 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Dalam penjelasannya, pemungutan suara serentak pada Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemic Covid-19 belum berakhir.
Kendati demikian, sejumlah pihak tetap mendorong agar pelaksanaan pilkada tetap dimajukan sebagaimana mestinya dengan segala pertimbangannya.
Sebaiknya KPU, DPR dan pemerintah harus membuat regulasi yang eksplisit dalam penundaan pilkada 2020 sampai pandemic berakhir karena ada sejumlah pasangan calon (paslon) kepala daerah yang sudah terpapar Covid-19. Kondisi ini akan semakin parah ke depan tahapan pilkada yang akan dilalui nantinya, hal ini menyangkut juga nanti pada kualitas daripada penyelenggaraan dan ketentuan terkait hasil dari proes pemilihan. Sebab situasi pandemic ini banyak hal-hal yang tidak terduga dan kemudian berpengaruh terhadap proses serta hasil dari pelaksanaan pesta demokrasi.
Rakyat harus mendesakkan pemerintah untuk penundaan pilkada 2020 karena akan mengancam keselamatan kesehatan bagi anak negeri dikarenakan tidak ada anggaran yang cukup memadai untuk menjamin kesehatan penyelenggara, peserta, dan pemilih di tengah Covid-19. Tidak realisitis memaksakan Pilkada pada tanggal 9 Desember 2020 akan menjadi malapetaka bagi kita semua “Pilkada bertarung nyawa”.