Akhir-akhir ini dunia maya seperti Twitter, Instagram, Whatsapp, Youtube dan lain-lain sedang hangta-hangatnya membahas tentang politik dinasti. Tentu hal ini ada alasan tersendiri. Dan sejauh pandang penulis rupanya hal ini menjadi perbincanngan hangat dikarenakan pola perpolitikan di masa pemerintahan presiden Joko Widodo sudah mendekati ke arah politik dinasti. Yaitu ditandai dengan munculnya nama Gibran Rakabuming sebagai bakal calon wali kota Solo, dan nama-nama lain yang punya hubungan erat dengan presiden Joko Widodo dan pejabat pemerintah lainnya.
Lantas politik dinasti itu apa? politik dinasti merupakan sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Ini dapat ditemukan pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan monarki, yang mana memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Walaupun demikian, praktek seperti ini juga tidak menutup kemungkinan bisa ditemui di negara kita yang berbentuk republik ini.
Dalam konstitusi (UUD 1945) tidak ada aturan yang melarang praktek politik dinasti, bahkan politik dinasti telah dilegalkan oleh mahkamah konstitusi. tapi hal ini tidak serta merta dapat dijadikan alasan untuk menerapkan politik dinasti di indonesia. Karna sesungguhnya politik dinasti tersebut tidak masalah tapi menimbulkan masalah. Salah satu masalah akan yang timbul yaitu pencideraan terhadap asas demokrasi yang kita anut.
Dalam negara yang menganut asas demokrasi setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, tetapi politik dinasti tidaklah merupakan sebuah solusi. Karna menurut hemat penulis, perkara hak dan kewajiban dalam lingkungan pemerintahan tidak bisa dianggap seperti membolak-balik telapak tangan saja. Ketika seseorang telah ditempatkan pada roda pemerintahan maka ia akan memiliki kewajiban dan sekaligus tanggung jawab besar untuk memperjuangkan dan memajukan rakyatnya.
Kalau kita melihat pada prakteknya, sekalipun politik dinasti dibolehkan oleh undang-undang namun rupanya politik dinasti memiliki berbagai dampak negatif yang akan menggerogoti tubuh perpolitikan di Indonesia. Adapun dampak negatif tersebut diantaranya adalah:
Pertama, politik dinasti justru mengakibatkan proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Karna dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Sehingga akan memungkinkan bagi kader partai yang memiliki prestasi dan visi yang bagus akan bisa tersingkirkan.
Kedua, tertutupnya kesempatan bagi masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Memang ini merupakan suatu konsekuensi logis dari politik dinasti. Karna sirkulasi kekuasaan hanya berputar dilingkungan keluarga dan orang terdekat saja.
Ketiga, dengan adanya politik dinasti maka akan sulit tercapainya pemerintahan yang baik dan bersih (Clean and good governance). ini disebabkan oleh lemahnya fungsi kontrol kekuasaan sehingga tidak jarang akan menimbulkan berbagai penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Keempat, dengan adanya politik dinasti justru hanya akan melanggengkan kekuasaan segelintir orang (Ari Dwipamyana: Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM). memang betul apa yang dikatakan beliau, bahwa dengan adanya politik dinasti justru sirkulasi kekuasaan hanya akan berputar dalam lingkup orang-orang terdekat saja dan tentu akan melangengkan kekuasaan mereka.
Di lain sisi, ternyata politik dinasti semakin memperburuk wajah perpolitikan di indonesia. Tidak dapat kita pungkiri memang, kalau perpolitikan di indonesia memiliki kualitas yang buruk. Karna hal ini adalah buntut dari para pelaku politk tersebut. Yang haus kekuasaan dan orientasi berkuasa hanya tertuju pada uang dan kepentingan individu.
Contohnya saja pada kasus Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari yang terlibat dalam tiga kasus korupsi yang menyedot uang negara sebanyak kurang lebih Rp. 350 miliar. Belum lagi pada korupsi yang telah dilakukan ayahnya Syaukani Hasan Rais yang merupakan mantan Bupati Kutai Kertanegara. Syaukani yang berhasil meraup dana sebesar Rp. 93,204 miliar (Kompas.com).
Contoh kasus lain dapat juga kita lirik pada dinasti Atut di Banten. Yang mana mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang menempatkan kerabatnya di pemerintahan Banten. Atut merupakan tersangka sejumlah kasus korupsi bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias wawan. Kasus itu yakni suap terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait penanganan sengketa pilkada Lebak (Kompas.com)
Melihat pada berbagai kasus diatas maka sejauh pandang penulis, politik dinasti sangatlah berbahaya jika terus menerus diterapkan di negara kita, sehingga alasan apapun sesungguhnya yang dipakai dalam politik dinasti ini tidak akan mengobati luka masyarakat pada masa lalu. Namun kalaupun ini akan tetap diterapkan juga maka ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, diantaranya adalah :
Pertama, kualitas calon mestilah menjadi acuan utama. Jangan hanya karna popularitas dan dekat dengan penguasa saja yang dijadikan alasan agar bisa ikut tergabung dalam pemerintahan. Artinya partai memang harus benar-benar selektif terhadap para kader yang akan dicalonkan. Apalagi jika memang ada kader yang memiliki visi dan prestasi yang bagus maka ini harus diutamakan dari yang lain.
Kedua, bagi para pemilih yang dalam hal ini adalah rakyat harus memiliki kecerdasan juga untuk memilih para pemimpinnya. Karna kalau sekiranya rakyat lebih memperhatikan popularitas saja maka tentu yang akan merasakan akibatnya nanti juga rakyat itu sendiri, artinya sikap pemimpin yang dipilih itu merupakan akibat dari ketidak hati-hatian rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Pada akhirnya kalau politik dinasti hanya akan semakin memperburuk wajah dunia perpolitikan di indosesia, maka hal ini sudah harus menjadi perhatian kita bersama. Kalau hal ini semakin kita biarkan, yang akan mendapat dampak buruk nantinya tentu juga kita semua.