Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas
Kejanggalan mulai merasuk dan menetap perlahan tapi pasti kepada setiap individu yang terdampak terhadap jahatnya pandemi Covid-19. Seharusnya kita pun sudah sadar akan maksud dan makna yang tersirat oleh sutradara yang tak kasat mata, dibalik merebaknya Covid-19 ini. Dan entah apa yang membuat para wakil dan pejabat publik candu dalam membuat statement dan membuat regulasi yang sekiranya membuat masyarakat pun sulit untuk menyatakan sikap terhadap apa yang semestinya di lakukan untuk memenuhi aturan dan pencegahan dan pematuhan terhadap protokol yang telah diketuk palu karet.
Memasuki sektor yang cukup strategis di Indonesia yang saat ini, dan salah satu kamar untuk pribadi diri, yaitu Pendidikan yang diharapkan mampu untuk tetap menunjukkan eksistensi ditengah parahnya pandemi Covid-19, ternyata tidak seperti diharapkan, malah jatuh dan terpuruk ke dalam jurang kebodohan dan berujung pembodohan yang akan mungkin berlangsung bertahun tahun lamanya.
Berdasarkan kutipan data UNESCO, menunjukkan bahwa pada April 2020, 1,6 miliar pelajar diliburkan dari sekolah dan universitas karena langkah-langkah untuk menekan penyebaran Covid-19, jika dibulatkan, hampir 90% dari seluruh populasi siswa di dunia. Hal ini merupakan Ultimum Remidium, untuk mencegah angka penularan agar konstruksi klaster baru dapat ditekan dan diminimalisir semaksimal mungkin.
Statement itu tentu tidak putus begitu saja oleh pemikiran para elite politik, bahkan Pribumi awam pun mulai menunjukkan dan memaparkan kerangka berpikir yang cukup kompleks dan cukup kritis, pasalnya banyak yang mengeluhkan atas ketidakefektifan pembelajaran masa covid ini. Berbagai metode telah dilakukan tetapi tetap saja tidak menghasilkan output yang baik usai pembelajaran berlangsung.
Menurut Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 berbunyi, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dapat kita tarik salah satu frasa yaitu ”pendidikan dasar”, yang mana apabila kita arahkan, panah akan tertuju pada siswa sekolah dasar. Sungguh sangat memprihatinkan jika melihat siswa baru kelas 1 sekolah dasar yang hanya mengandalkan google sebagai guru dan tempat mengadu serta berkeluh kesah atas kurang pahamnya dengan materi yang ditayangkan.
Kasih sayang serta persuasifitas pun hanya sekedar klise semata dan pasti tidak akan didapat dari google, hal ini membuat siswa tersebut tidak mampu menyimpan dan memahami materi secara maksimal, karena upaya untuk mencari jawaban dan langkah langkah di setiap butir soal yang diberikan hanya semudah menghisap rokok saja, sekedar menghisap tapi rasa tak tersimpan baik di lidahnya, begitu pula dalam penyerapan materi, hanya sekedar menyalin tetapi tidak paham apa yang ditorehkan di atas kertas.
Pembodohan pun tak akan terelakkan dari output globalisasi ini, virtual learing, interactive learning, entah apa lah namanya, bukanlah metode yang diharapkan mampu menigkatkan kualitas pendidikan. Entah apa lah yang akan terjadi jikalau keadaan terus seperti ini, yang jelas sudah pasti tidak akan maksimal, dan kurangnya flexibiltas dan transparansi terhadap rakyat sebagai decision maker oleh pemerintah yang terlalu rumit dalam mengambil keputusan, pasalnya setiap materi yang disuguhkan di laman virtual learning, hanya ditelan hingga kerongkongan saja, selepas itu dimuntahkan lagi, karena tidak ada usaha yang penuh dan keseriusan dalam mencari dan memahami materinya, mirisnya, jika tidak ada absensi oleh staf pengajar, materi yang disuguhkan akan dibiarkan membatu sampai ada instruksi baru dari guru atau staf pengajarnya.
Virtual learning atau metode daring bukanlah the last chance untuk memperoleh output yang lebih berkarakter dan berintelejensi tinggi. Ketika belajar di kelas saja siswa sudah diawasi oleh guru, dan siswa tetap saja berada di dua dunia yang berbeda, apalagi dalam metode daring, tanpa ada yang mengawasi dan hanya berindak suka suka.
Hal ini tentu saja sudah bertindak inkonstitusional dan inkonsistensi terhadap Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945. Memang pembiayaan terus digiatkan, akan tetapi tidak akan pernah tercapai tujan pendidikan yang seutuhnya. Setiap kalangan memiliki setiap sudut pandangnya masing-masing namun penulis disini ingin memaparkan jika kita berfikir secara logika dan fakta yang ada di lapangan saat ini, apakah itu pantas untuk dilakukan? Atau sebaliknya?
Pembelajaran virtual learning masih menjadi sebuah perdebatan yang tidak harus diperdebatkan apabila kita melakukan tindakan dan mencari solusi dari keadaan yang buruk bagi banyak orang di dunia. Walaupun tujuan dari pembelajaran daring itu baik, namun setiap keputusan pasti ada pro dan kontra, keadaan yang ada sekarang lebih banyak yang kontra daripada pro. Menjadikan kita sebagai bangsa yang mengutamakan pendidikan tidak terlihat dengan adanya pembelajaran daring ini.
Namun apa yang mau kita sangkakan, ini terjadi dan sudah menjadi polemik disetiap kalangan baik kaya maupun miskin, baik muda maupun tua, sekarang kita kembalikan lagi ke pemerintah yang berkuasa nan paling pantas dan harus mengambil keputusan yang pas.
Pendidikan bukanlah kontes pemilu yang sangat bertolak belakang dalam hal waktu dan pelaksanannya karena pendidikan harus dilakukan tiap saat dan harus terlaksana dengan tujuan mendidik. Beda dengan pemilu yang hanya berjuang untuk segelintir orang yang memiliki kepentingan sesaat. Waktu memang menjadi sebuah masalah semakin hari semakin memburuk.
Pemerintah sekarang malah mementingkan pelaksanaan pemilu daripada pelaksanaan pendidikan yang baik dan terlaksana daripada semestinya. Kita boleh berkata namun penguasa yang menentukan, kita bisa beropini namun hanya sekedar opini apabila didengar sangat baik.
Pada intinya daring adalah metode terburuk bagi hampir 90% masyarakat di Indonesia yang sedang melakasanakan kegiatan belajar mengajar.