Amerika Serikat (AS) menuduh China menargetkan sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, sebagai tempat membangun pangkalan militer.
Hal itu terungkap dalam laporan tahunan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) ke Kongres, yang berjudul "Perkembangan Militer dan Keamanan yang Melibatkan Republik Rakyat China 2020".
Dalam laporan tahunan tersebut, pemerintahan Presiden Donald Trump menyebut langkah China itu bertujuan untuk memungkinkan PLA (Tentara Pembebasan Rakyat) memproyeksikan dan mempertahankan kekuatan militer pada jarak yang lebih jauh.
Hal itu diyakini akan mengganggu operasi militer AS dan mendukung operasi ofensif terhadap negara tersebut.
"Di luar pangkalannya di Djibouti, China kemungkinan besar sudah mempertimbangkan dan merencanakan fasilitas logistik militer tambahan untuk mendukung proyeksi angkatan laut, udara, dan darat," tulis laporan itu dari situs Kementerian Pertahanan AS, www.defense.gov.
"China kemungkinan telah mempertimbangkan Myanmar, Thailand, Singapura, Indonesia, Pakistan, Sri Lanka, Uni Emirat Arab, Kenya, Seychelles, Tanzania, Angola, dan Tajikistan sebagai lokasi fasilitas logistik militer PLA."
Untuk mewujudkan misinya itu, AS menyebut China menggunakan proyek Belt and Road Initiative (OBOR) sebagai perantara. Di mana sejumlah negara, termasuk Indonesia, turut menjadi pesertanya.
"Saat ini, China menggunakan infrastruktur komersial untuk mendukung semua operasi militernya di luar negeri, termasuk kehadiran PLA di wilayah negara lain, termasuk pangkalannya di Djibouti," tulis laporan itu lagi.
"Beberapa proyek OBOR China dapat menciptakan potensi keuntungan militer, seperti akses PLA ke pelabuhan asing yang dipilih untuk memposisikan sebelumnya dukungan logistik yang diperlukan untuk mempertahankan penyebaran angkatan laut di perairan sejauh Samudra Hindia, Laut Mediterania, dan Samudra Atlantik untuk melindungi minat yang berkembang."
Proyek OBOR sendiri merupakan program yang diinisiasi Presiden China Xi Jinping pada 2013 lalu. Program ini bertujuan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-besaran untuk meningkatkan dan memperbaiki jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan sekitarnya.
Kelebihan program ini sendiri adalah menyediakan dana yang besar bagi anggotanya. China bahkan dikabarkan menggelontorkan dana sebesar US$150 miliar atau setara Rp 2.137,6 triliun per tahun. Dana itu bisa dipinjam negara peserta program tersebut untuk membangun infrastruktur mereka.
"Negara tuan rumah dapat menjalankan peran penting dalam mengatur operasi militer China, karena para pejabat China sangat mungkin menyadari bahwa hubungan jangka panjang yang stabil dengan negara tuan rumah sangat penting untuk keberhasilan fasilitas logistik militer mereka," kata Departemen Pertahanan.
Sementara itu, China membantah laporan AS. Juru Bicara Kementerian Luar negeri China Hua Chunying mengatakan laporan itu sangat bias.
Sumber: CNBCIndonesia.com