Mungkin kebanyakan dari kita sudah tahu tentang salah satu lelucon Gus Dur Dur ini, yang mengatakan ‘Polisi jujur hanya ada 3, patung polisi, polisi tidur dan jenderal Hoegeng’. Kalau patung polisi dan polisi tidur tentu kita semua juga tahu, tapi apakah kita tentang Jenderal polisi Hoegeng polisi kita mengetahuinya ? Nah Mari kita cari tahu tentang sosok beliau.
Nama beliau dan gelarnya adalah Jendral Polisi (Purn) Drs. Hoegeng Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal di Jakarta 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun). Ia adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun 1968 - 1971. Hoegeng juga merupakan salah satu penandatangan Petisi 50. Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.
Ada yang pernah mengatakan kalimat bahwa Jendal Hoegeng adalah Avatar yang terlahir ke Bumi Pertiwi untuk membereskan semua kekacauan yang ada. Dia bukanlah sosok polisi biasa, karena dia merupakan seorang tokoh besar sekaligus sosok yang patut untuk diteladani oleh bangsa kita, di tengah sedikitnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian saat itu.
Hoegeng tampil kehadapan publik dengan profilnya yang sederhana serta kejujuran yang luar biasa. Bahkan ketika ia telah menjabat sebagai pimpinan kepolisian tertinggi di Indonesia kala itu. Ada banyak kisah yang membuktikan bahwa ia adalah sosok polisi yang sangat menjunjung tinggi kejujuran, dan mengabdi dengan dengan tulus untuk masyarakat. Ia telah banyak menerima tawaran suap dan sogokan yang menggiurkan namun ditolak mentah-mentah olehnya dan berikut 3 kisah membanggakan beliau.
Meminta sang istri menutup toko bunganya
Kisah ini menjadi salah satu yang paling dikenang dalam riwayat kisah hidup Hoegeng. Di awal masa jabatannya sebagai seorang perwira, gaji yang diterimanya tidaklah seberapa. Oleh karena itu, istrinya, Merry Roeslani, berusaha membantu meringankan beban sang suami dengan membuka toko bunga.
Seiring perjalanan karier yang mulus, pada tahun 1960, atau tepat satu hari sebelum Hoegeng resmi dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kemudian diubah menjadi Dirjen Imigrasi), ia meminta Merry untuk menutup toko bunganya. Padahal, saat itu bisnis tersebut sudah berkembang sangat maju dan laris diburu pembeli.
Namun, selaku istri yang baik dan selalu mendukung suaminya, ia mengiyakan. Merry paham benar, bahwa suaminya ingin agar keluarganya senantiasa hidup jujur dan bersih, dan tak mau jika nantinya orang berbondong-bondong datang ke toko bunganya hanya karena ingin “dipermudah” urusannya oleh sang suami. Lebih baik ia hidup pas-pasan ketimbang makan uang haram seperti itu.
Mobil dan rumah mewah tak mampu mengikis kejujurannya
Pada tahun 1955, Hoegeng mendapat amanah untuk bertugas di kota Medan. Seperti kota-kota besar lainnya, kejahatan sudah begitu merajalela di tempat sini. Para petinggi aparat hukum maupun militer telah menjelma menjadi kacung gerombolan penjahat. Berbagai suap serta sogokan berupa kendaraan mewah, perabotan mahal, hingga wanita berhasil membutakan nurani mereka.
Mengetahui Hoegeng sudah mulai bertugas di Medan, para bandar judi di kota itu mulai bergerilya melancarkan “jurus” yang sama. Mobil mewah hingga rumah gedongan sudah disiapkan untuknya. Tapi, Hoegeng menolak. Ia lebih memilih untuk tinggal sementara di sebuah hotel hingga rumah dinasnya siap.
Setelah pindah ke rumah dinas, alangkah terkejutnya ia mendapati rumah tersebut telah terisi berbagai benda mahal nan mewah yang diketahui merupakan “pemberian” para penjahat. Ia yang sudah geram, kemudian meminta para bawahan hingga kuli bangunan di sekitar untuk mengeluarkan barang-barang tersebut serta menyimpannya di depan rumah begitu saja. Luar biasa.
Menolak rayuan penyelendup cantik
Sekitar tahun 1960-an, Hoegeng yang saat itu sudah menjabat Jenderal, didatangi oleh seorang wanita asal Makassar. Wanita berparas cantik dan bertubuh aduhai ini mengaku seorang pengusaha. Tentu ada maksud terselubung terkait kedatangannya. Ia meminta supaya kasus yang membelitnya tak dilanjutkan ke tahap pengadilan. Hasilnya? Hoegeng dengan tegas menolak.
Layaknya pengusaha yang tak pantang menyerah, ia tak putus asa begitu saja dan kemudian “menghadiahi” Hoegeng dengan berbagai barang dan furnitur mewah, yakni peralatan elektronik hingga bahan pakaian premium. Sayang, respons Hoegeng tetap sama. Ia dengan tegas menolak dan mengembalikan barang-barang tersebut.
Ironisnya, para koleganya di kepolisian, bea cukai, hingga kejaksaan membujuknya supaya ia melepas wanita tersebut. Hoegeng yang kesal dan keheranan, mendapati bahwa mereka telah disuap oleh wanita tersebut. Entah itu uang, barang mewah, hingga tubuh molek gadis itu sendiri. Wanita ini ternyata merangkap pelacur yang tak segan menjajakan tubuhnya demi memuluskan bisnis ilegalnya.
Namun, Hoegeng tetaplah Hoegeng. Berbagai suap mewah hingga rayuan berahi dari wanita cantik dan seksi sekalipun tak mengubah tekad kejujurannya. Pada akhirnya, wanita tersebut diadili dan dihukum sesuai kesalahannya.
Itulah kisah teladan dari polisi super kita, Hoegeng Imam Santoso. Sosok yang tak kenal ampun dan kata kompromi dalam memberangus kejahatan serta menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Membaca kisah menawan ini, tentu kita berharap supaya para petinggi polisi lainnya dapat mencontoh sikap beliau. Untuk tetap hidup sederhana dan menajalankan amanah sejujur-jujurnya.