Akhir-akhir ini muncul saran dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dengan meminta semua pihak untuk mempertimbangkan melaksanakan Pilkada Asimetris, yang menurutnya dapat mengurangi dampak negatif dari pilkada yang dilakukan secara langsung.
"Saya sarankan pilkada asimetris mungkin perlu dipertimbangkan, bukan sesuatu yang aneh, kita tak perlu alergi. Pendapat saya karena ada juga sekarang daerah-daerah yang tidak lakukan pemilihan langsung," ujar Tito.
"Contoh Yogya karena keistimewaannya maka Sri Sultan jadi Gubernur tanpa dipilih langsung rakyat. Kita lihat juga di DKI, wali kota, bupati Kepulauan Seribu dipilih Gubernur jadi dia tidak ada beban untuk balikkan modal. Jadi asimetris itu sudah terjadi," tambahnya.
Hal tersebut disampaikan Tito dalam diskusi online yang bertajuk 'Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah' pada Sabtu (20/6/2020).
Tito menjelaskan usul pilkada asimetris itu tidak seluruhnya pilkada dilakukan secara langsung. Dia mengatakan pertimbangan langsung atau tidak dilihat dari kedewasaan Demokrasi di daerah.
"Ada yang langsung dan tidak, untuk pilkada asimetris, untuk kurangi dampak negatif kita harus lihat kedewasaan demokrasi, daerah betul-betul siap pilih pemimpin paham enggak mereka harus pilih pemimpin yang tepat," ujarnya.
Adapun penentuan daerah apakah melakukan pilkada langsung atau tidak adalah dengan menggunakan indikator IPM. IPM sendiri dilihat dari aspek pendidikan dan kesehatan sebagai acuan kedewasaan demokrasi.
"Sehingga ada kategori IPM tinggi artinya pendidikan baik, kesehatan baik mereka dewasa berdemokrasi. Mereka mengerti memilih pemimpin penting. Kedua, IPM sedang dan ketiga IPM rendah yang rendah kurang terdidik, kurang sehat sehingga mudah dimanipulasi," katanya.
Faktor lain juga yang dapat mempengaruhi kebijakan pilkada langsung atau tidak langsung adalah dengan mempertimbangkan kemampuan fiskal dari setiap daerah. Selain itu, Tito juga menegaskan bahwa pilkada juga tidak boleh memecah belah keharmonisan yang sudah terjalin di daerah.