Oleh: Abdhy Walid Siagian
(Mahasiswa Hukum Universitas Andalas)
Timbulnya spekulasi di tengah masyarakat bahwa di duganya ada beberapa pasal-pasal yang di anggap kontroversial salah satunya adalah pada Pasal 169 A, yang mana Pemerintah menjamin perpanjangan para pemegang KK (Kontrak Karya) dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebelum Perubahan, pasal itu hanya menyebutkan bahwa KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang tetap akan diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian. Hal ini membuat perusahaan dapat memperpanjang secara otomatis tanpa melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan di teruskan dengan pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Selanjutnya pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus, masing-masing paling lama 10 tahun yang mana ini telah ditunggu-tunggu oleh perusahaan raksasa batubara.
Disisi lain dengan adanya RUU minerba ini dianggap melemahkan BUMN, jika sebelumnya pemerintah memutuskan untuk mengeksploitasi WPN, maka pemerintah akan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus dan wilayah tambangnya menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus. Sebelum adanya RUU tersebut, sebagaimana bunyi pasal 27 Ayat (3) “Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. BUMN sebagai tangan dari negara perlu diberi peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam. Disisi lain telah dijelaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain itu muculnya spekulasi tentang Divestasi yang tertuang dalam Pasal 112 yaitu “Pemegang IUP dan IUPK pada tahap operasi produksi yang sahamnya dimiliki asing wajib mendivestasikan saham sebesar 51% dan secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Badan Usaha Swasta Nasional. Sedangkan pengaturan tentang divestasi ini baru berlaku 5 tahun setelah disahkan.
Kemudian soal penghapusan Pasal 165 UU Minerba menyebutkan “Setiap orang yang mengeluarkan, IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana, paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Selain itu, pemegang IUP tidak lagi perlu melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan, seiring dengan dihapusnya Pasal 45 UU Nomor 4 Tahun 2009. Dengan hilangnya pasal ini berpotensi adanya kecurangan bagi oknum pejabat yang melakukan penyelewengan terhadap hak dan wewenangnya yang diberi oleh undang-undang dalam tugas perizinan pertambangan.
Apakah dengan diresmikannya RUU Minerba Menjadi UU, bisa memberi perlindungan dan ruang atas hak masyarakat, yakni hak-hak masyarakat adat, hak aspek keselamatan bagi warga serta sosial ekonomi yang berdampak pada masyarakat, terutama masyarakat tambang. Dimana kita ketahui bahwa energi batu bara yang dihasilkan punya dampak terhadap masyarakat itu sendiri baik ekonomi maupun kesehatan dan jangan hanya memikirkan bagi para investor dan perusahaan tambang saja yang akan mendapatkan keuntungan dari pengesahan UU ini.