Percobaan dilakukan dengan melibatkan 1.059 pasien COVID-19 di 60 lokasi berbeda di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. 538 pasien diobati dengan remdesivir selama 10 hari dan 521 pasien lainnya diberikan plasebo dengan jadwal yang sama. Para pasien dinilai setiap hari, baik untuk menentukan tingkat keparahan gejala mereka maupun efek samping yang dapat disebabkan oleh obat, yang mengganggu kemampuan virus untuk menyalin RNA-nya.
Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa pengobatan dengan remdesivir mempersingkat waktu pasien untuk segera pulih dibandingkan dengan plasebo, dari rata-rata waktu pemulihan selama 15 hari menjadi 11 hari. Terlebih lagi, data ini membantah kekhawatiran bahwa remdesivir harus diberikan sangat awal setelah timbulnya gejala. Faktanya, peserta yang memasuki uji coba lebih dari 10 hari setelah timbulnya gejala benar-benar menunjukkan respon yang lebih baik terhadap remdesivir dibandingkan mereka yang mulai diobati selama 10 hari pertama.
Hasil sekunder utama uji coba tersebut juga menunjukkan bahwa total kematian yang lebih rendah dengan remdesivir dibandingkan plasebo (21:28) pada saat ini, walaupun perbedaan itu tidak signifikan secara statistik.
Para peneliti mencatat bahwa pengobatan remdesivir tidaklah cukup saat ini, jadi penelitian yang menggabungkan pengobatan dengan terapi lain harus tetap dieksplorasi. Tetapi dibandingkan dengan penelitian lain baru-baru ini terkait efek hydroxychlorquine pada COVID-19 yang menunjukkan bahwa obat tersebut menyebabkan peningkatan kematian yang nyata, penemuan terbaru ini harus dianggap sebagai keberhasilan.