Sejak 2 Maret dimana ditemukannya virus covid-19 di tubuh warga Negara Indonesia, pemerintah memang belum serentak mengimbau untuk segera melakukan social atau physical distancing, imbauan tersebut baru muncul ketika wabah sudah mulai meluas. Dan kini sudah hampir mencapai dua bulan, warga Indonesia tak terkecuali mahasiswa diminta untuk mematuhi pesan Bapak Presiden yaitu “bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah.” Dan selama dua bulan itu pula absen mahasiswa tergantung kuota, ya, tergantung online nya kita. Dan menjadi sesuatu yang menyedihkan ketika tempat tinggal kita tidak ada layanan Wi-Fi sehingga harus bermiskin-miskin ria dengan memastikan tetap terjaganya kuota kita. Ramai di media social bahwa kampus diminta untuk memperhatikan kuota mahasiswa serta meramaikan pertanyaan “Kuliah Online, UKT buat apa ya?”. Dengan begitu sudah banyak kampus yang memberikan bantuan pulsa internet kepada mahasiswanya. Relevan, karena uang listrik bulanan yang dikeluarkan kampus, tidak dialokasikan selama pandemic ini dan memang sangat dianjurkan untuk mengalokasikan ulang menjadi pemberian pulsa internet untuk menunjang pembelajaran jarak jauh bagi mahasiswa.
Selain kuliah daring makin tidak ada kegiatan yang bisa dilakuin. Biasanya nge-café, nongkrong, rapat, seminar, kumpul bareng temen, sekarang di kos doang. Tak ayal hal ini memang sedikit menyulitkan apalagi untuk para darah muda yang lagi gemar-gemarnya sosialisasi dan harus terpenjara dalam kamar masing-masing. Sebenarnya dengan adanya pandemic ini kita jadi lebih mampu untuk mengenal diri kita sendiri, tidak dituntut oleh banyak pihak dan kegiatan, mampu menyusun ulang tatanan hidup yang mungkin dirasa berantakan.
Pemuda penggerak Negara pas kuliah online kok jadi loyo? Yang awalnya menggebu-nggebu kalo rapat kerja, ini kok jadi males. Pandemi jangan dijadiin pemalas diri. Kalau lagi lega uang, waktu, dan tenaganya boleh banget membantu mereka yang kesulitan. Para pekerja yang kena PHK, pedagang kaki lima, pekerja di tempat wisata butuh banget uluran tangan kita. Seperti mahasiswa di Univ PGRI Ronggolawe Tuban yang membagikan 160 paket sembako kapada para tukang becak dan pedagang kaki lima, Minggu (19/04/2020).
Membaca grafik perkembangan covid-19 di Indonesia pada kompas.com dapat disimpulkan bahwa jumlah terkonfirmasi virus tersebut akumulasinya terus bertambah. Memang memprihatinkan karena terlihat bahwa Indonesia kekurangan rumah sakit untuk menampung pengidap covid-19 ini. Bisa dibayangkan, tidak ada pandemic saja rumah sakit hampir tidak pernah sepi pasien, apalagi ditambah covid-19 yang penyebarannya sangatlah cepat. Jika tidak ada bangunan yang taba-tiba dialihfungsikan menjadi rumah sakit, mungkin tidak bisa menolong cepatnya penambahan pasien covid.
Menurut www.halodoc.com menyatakan bahwa virus ini mengancam imun tubuh. Imun tubuh pemuda memang relatif masih bagus, maka dengan begitu sebaiknya para pemuda memang yang paling penting untuk menjaga diri mereka sendiri, pun juga untuk tidak bepergian kemanapun jika tidak mendesak. Adanya sebutan OTG (Orang Tanpa Gejala) ini memang sedikit banyak membuat resah, karena jelas mereka mengidap virus ini namun tidak menimbulkan gejala apapun. Memang untuk dirinya sendiri tidak merasa dirugikan, namun untuk orang disekitar kita bisa saja tertular virus dari kita dan karena imunnya lemah maka lebih mudah untuk merasa sakit dan lebih menderita. Yang perlu dilakukan pemuda dalam membantu mengurangi rantai penyebaran virus ini adalah tetap dirumah dan selalu menjaga kesehatan. Jangan malas untuk selalu berolahraga dan makan-makanan yang bergizi serta banyak minum air putih, karena dengan begitu kita akan mempertebal imun kita dan jika ternyata terdapat virus dalam tubuh kita maka virus tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Sadar nggak sih jika masyarakat Indonesia sedikit banyak kekurangan asupan informasi yang tepat dan sosialisasi dari pejabat setempat. Banyak dari kita termakan hoax hoax di social media, terutama emak-emak. Dengan ke-kurang-tepat-an informasi yang mereka dapat malah membuat situasinya makin tak kondusif, seperti misalnya ketakutan yang hiperbola sampai membuat warga di Desa Sewakul Ungaran menolak pemakaman jenazah pengidap covid-19 di pemakaman area Desa Sewakul. Mereka kurang paham bahwa dengan protocol pemakaman covid-19 sudah sangat menanggulangi penyebaran virus.
Bukan kematian akan virus covid-19 ini yang mengerikan, namun kewarasan pikiran kita dalam menghadapinya. Setelah pada awal-awal karantina mulai banyak yang panic buying, kecemasan yang tak wajar, dan disinilah peran pemuda sangat diperlukan. Pemuda mampu mengolah informasi dengan baik. Mampu membedakan mana yang fakta mana yang mitos, mampu kritis dalam menanggapi sesuatu, tidak seperti kebanyakan masyarakat yang membenarkan secara mentah-mentah segala informasi. Sesederhana memberi tahu ibu kos untuk tidak panik membeli kebutuhan pokok terlalu banyak, hal itu juga membantu mengurangi kecemasan yang merebak di masyarakat.
Tipikal masyarakat desa yang overprotective ketika warganya ada yang terkena covid-19, mereka berinisiatif untuk melakukan karantina wilayahnya sendiri. Bersama perangkat desa terkecil seperti RT RW mulai menggalakkan untuk tidak keluar masuk wilayah kompleks sembarangan dan tanpa izin. Peran pemuda diperlukan untuk menertibkan jalannya program tersebut seperti memberi sosialisasi kepada warga sekitar untuk berjemur di pagi hari, memakai masker, dan rajin cuci tangan. Seperti yang dilakukan pemuda di Perumahan Sehati kota Salatiga Jawa Tengah ini (pada gambar).