Kerusuhan Medan
Menjelang lengsernya Soeharto, Kota Medan dan sekitarnya lebih dulu dilanda kerusuhan hingga daerah ini tidak terkendali dan lumpuh pada Rabu, 6 Mei 1998.
Awal pekan, 4 Mei 1998, Mahasiswa IKIP Medan berdemonstrasi di dalam kampus. Sekitar 500 an orang terlibat dalam aksi tersebut. Selang beberapa saat, mereka mencoba unjuk rasa keluar kampus dan menerobos aparat keamanan yang bersiaga di luar kampus. Kontak fisik pun tak terhindari, mahasiswa melempari aparat dengan batu dan bom molotov sehingga aparat pun membalas serangan itu.
Aksi tersebut berlanjut sampai malam hari. Aksi itu semakin memuncak setelah ada pelecehan seksual dari seorang aparat terhadap salah seorang dari mahasiswa itu yang berinisial SN.
Melihat kejadian-kejadian itu, warga mulai geram dengan perlakuan aparat dan mulai bergabung dalam aksi dengan membentuk sekutu gabungan mahasiswa dan warga. Malam itu juga massa berkumpul dan mendatangi kantor polisi untuk mencari polisi yang melakukan pelecehan teraebut.
Selama aksi itu, ratusan ruko dilempari dan dirusak. Sejumlah kendaraan dibakar dan sedikitnya 5 orang tewas dan puluhan orang tertembak.
(Ratusan mahasiswa di Medan yang dihalangi oleh aparat keamanan saat hensak menuju gedung DPRD Sumut, Gambar: Indoprogress)
(Truk anti huru-hara hancur setelah dilempari oleh mahasiswa di Jalan Pancing, Gambar: Indoprogress)
Reformasi
Era Reformasi dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan Wakil Presiden pada saat itu, BJ Habibie.
Hal itu dilatarbelakangi oleh semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto ditambah dengan Krisis Finansial Asia atau Krisis Moneter yang melemahkan perekonomian Indonesia.
Hal tersebut menjadi dasar dari demokrasi besar-besaran yang dilakukan organisasi-organisasi kemahasiswaan di berbagai wilayah Indonesia.
Kejadian tersebut semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang menyebabkan 4 mahasiswa tertembak, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di bagian vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.